Mengkayakan Diri dengan Sedekah

Allah Subhaanahu Wa Ta’Ala berfirman:
“Katakanlah, “Sungguh, Tuhanku melapangkan rezeki dan membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.” Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik.” (QS. Saba’: 39)

Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah berfirman: “Wahai Anak Adam, berinfaklah maka Aku akan berinfak kepadamu.” (HR. Muslim)

Benarkah demikian? Ungkapan sederhana sekaligus akibatnya ini, rasionalkah? Bukankah apa yang terkeluarkan tak akan kembali? Bisakah segala yang terberi akan terganti? Dan, benarkah apa yang termilki, lalu tercurah untuk mereka malah mampu mencukupkan atau mengkayakan?

Secara apa yang terlintas dalam dunia pikir, tak diterima. Bisa jadi. Namun, apa jadinya jika pernyataan tersebut terbukti, lalu terjadi. Atau pernyataan tersebut diyakini oleh beberapa orang? Bahkan, tak selesai sampai di situ saking percayanya digeluti oleh sebagian dari mereka. Mungkin biasa aja, ya? Bisa jadi demikian. Atau malah sebaliknya, mengkerutkan dahi lalu berpikir: kok mau? kok bisa?

Sebelum melangkah jauh, sebenarnya bukan orientasi kaya nya yang dicari dari sedekah. Bukan pulangincer sedekah-nya supaya kaya. Akan tetapi, melakukan sedekah supaya bisa kaya. Bukannya sama saja? Tidak. Beginilah caranya. Beginilah jalannya. Sedekah merupakan salah satu wasilah (jalan) untuk mengkayakan diri. Bukan hanya harta, namun juga jiwa.

Sedikit banyak akan terbahas. Keduanya memang penting. Keduanya pula memang kebutuhan. Bisa jadi pokok malahan. Saking pokoknya tersebut, maka perlulah diaplikasikan.

Secara riil, ngarepin apa-apa dari wujud sedekah berupa kekayaan tidak masalah. Asal niatnya benar (mengharapkan ridha Allah), lantas digunakan untuk yang benar pula hasilnya (kekayaannya) nantinya. Bukan untuk negatif atau maksiat. Tapi, untuk ngebantu orang-orang, bermanfaat bagi banyak orang. Karena sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat untuk manusia lainnya, bukan? :)

Meskipun niatan sudah demikian memang tidak menjadi sebuah kesalahan niat, kepayahan usaha, jika awalnya sudah dimasuki niatan-niatan yang lurus. Meskipun memang kudu hati-hati. Karena tatkala niat sudah salah, amalan pun tak terarah (ditolak), hasil pun tak terlimpah. Namun, jika diawalnya diawali dengan niatan hanya mengharapkan ridha-Nya atas apa yang disedekahkannya. Lalu, dikawal dengan rasa keikhlasan tanpa harus berkoar-koar atas sedekahnya. Itu yang baik, insyaa Allah.

Selebihnya, jika nanti dengan sedekah tak ada hasil (belum kaya), itu bukan masalah sedekah kita yang terlalu kecil walaupun bisa jadi “iya”. Selain itu, bisa jadi niatan atau pun cara sedekahnya masih ada yang kurang pas. Bisa kita koreksi. Intinya, bukan “kaya-nya” yang jadi incaran bagi kita, sebenarnya. Namun, menjemput seruan untuk “bersedekah” yang prioritas utamanya. Kalau lantas Allah memberi lebih berupa hadiah kekayaan, bonus atas kesungguhan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang dunia adalah ambisinya, maka Allah akan menghancurkan kekuatannya, menjadikan kemiskinan di depan matanya dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah Allah takdirkan. Dan barangsiapa akhirat adalah tujuannya, maka Allah akan menguatkan urusannya, menjadikan kekayaannya pada hatinya dan dunia datang kepadanya dalam keadaan tunduk.” (HR. Ibnu Majah)

Dengan demikian, sudah sepantasnya kita bersedekah namun dengan acuan yang benar. Dan, sudah selayaknya sedekah untuk menjemput seruan-Nya. Karena akan banyak keuntungan yang ada dalam diri kita selain kekayaan (materi) setlah melakukan praktek sedekah tersebut, di antaranya:
  •     Wujud saling berbagi apa yang dimiliki.
  •     Melatih sikap peduli.
  •     Membantu kondisi ekonomi.
  •     Mensucikan jiwa.
  •     Merasakan nikmatnya iman.
Terlebih dari itu, tak baiklah jika kekayaan atau obsesi dunia ini kemudian terlalu berlebihan atau malah terprioritaskan. Maka, hakikatnya kekayaan tak layak untuk prioritas utama. Tapi, bisa jadi prioritas jika hasil dari kekayaan itu sekali bisa bermanfaat untuk banyak orang. Sangat boleh. Karena kekayaan sebenarnya bukan sekadar materi (red: uang, kekuasaan, dll). Di atas tadi disebutkan adanya kekayaan hati. Inilah yang lebih utama, yang menentramkan dan menyenangkan. Meskipun kekayaan hati ini bisa diperoleh dari sedekah. Seperti halnya dikatakan oleh Rasulullaah dalam sebuah hadits:

Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda:
 “Kekayaan bukanlah banyak harta benda, akan tetapi kekayaan adalah kekayaan hati.” (HR. Bukhari Muslim)

Ya, kekayaan hati. Inilah sebenarnya prioritas, obsesinya. Sebuah nilai kekayaan yang tak dapat disaingi. Bagaimana tidak? Dengan kayanya hati, perasaan akan mensyukuri segala yang ada (qana’ah). Dengan kekayaan hati, obsesi akan terkungkung dengan tak merasa kekurangan (kecukupan). Dengan kekayaan hati, tujuan pun senantiasa tertaut pada-Nya.

Paparan di atas bukan karena sudah merasakan sepenuhnya, tapi berupaya mengajak sesama untuk membuktikan. Bukan lantas tidak percaya juga, lalu kita berusaha membuktiikannya. Namun, ngarahin diri untuk taat pada seruan-Nya, kemudian melakukan sesuai tuntunan-Nya.

Akhirnya, bukan banyaknya yang dinilai, tapi ikhlasnya diri dalam keluarkan seberapa harta yang diberi. Semoga apa yang tersedekahkan merupakan harta yang terbaik; sedikit atau pun banyak. Semoga Allah ridha dan membalasnya dengan kebaikan-kebaikan yang luas. Aamiin yaa Rabb.

Semangat Bersedekah! Semangat Mengkayakan Diri! :)

(Oleh : Rendra Mochtar Habibie (Staff Departemen Dakwah Kampus JN UKMI UNS 2013)

0 comments Blogger 0 Facebook

Post a Comment

 
Rahasia Sedekah © 2013. All Rights Reserved. Share on Blogger Template Free Download. Powered by Blogger
Top