Bolehkah Bersedekah Dengan Berharap Sesuatu Di Balik Sedekah Tersebut?
Lalu kemudian, yang menjadi pertanyaan, apakah boleh sedekah dengan mengharapkan “sesuatu” di balik sedekah yang kita lakukan?
Hal ini menjadi penting, sebab inti dari “menyelesaikan hutang segunung” adalah dengan jalan memperbanyak sedekah. Jangan sampai nanti kita diklaim, “Wah, saudara bersedekah ada maunya (yaitu mau dibebaskan hutang)”. Semoga Allah berkenan menunjukkan kita ke jalan yang benar, dan menyelamatkan kita dari kesalahpahaman akan ajarannya, serta melindungi kita dari keyakinan yang salah. Amin. Allah jualah Penentu Kebenaran Yang Hakiki.
Saudara, menurut pengetahuan kami (mohon koreksian bila ditemukan kesalahan) tidak mengapa saudara bersedekah sambil mengharap adanya bantuan Allah di masalah hutang saudara (atau di masalah-masalah yang lain). Karena ini adalah permintaan saudara kepada Tuhan saudara, Allah rabbul „alamin. Iman yang bagaimana lagi ukurannya dibanding kita percaya akan janji-Nya dan memohon kepada-Nya melalui pintu sedekah? Semakin besar tingkat kepercayaan kita kepada Allah, tentu akan semakin besar pula sedekah kita, pengorbanan kita.
Mengakadkan keutamaan sedekah dengan berharap masalah hutang selesai juga tidak terkait dengan ikhlas atau tidak ikhlas. Saudara boleh tidak sepaham dengan hal ini; bahwa masalah bisa dibeli dengan sedekah dan bahwa keinginan juga bisa dibeli dengan sedekah. Tapi insya Allah tulisan ini juga tidak bermaksud berkonfrontasi kepada mereka yang tidak setuju. Hal ini dipaparkan, tidak lain tidak bukan agar tumbuh spirit, tumbuh semangat untuk giat beramal dan bersedekah.
Saudara, sedekah dikatakan tidak ikhlas adalah kalau kita ngomongin sedekah kita, mengungkitnya di sesama manusia (al Baqarah: 264). Tapi kalau kita berharap “imbal jasa” dari Allah, menurut keterbatasan kami, ini namanya “doa”, atau “permintaan”. Pikirkanlah, apalah lagi yang lebih utama, daripada mengharap hanya kepada Allah? Dan memasukinya lewat pintu yang diperintahkan oleh-Nya, yang salah satunya adalah pintu sedekah?
Syahdan, ada orang tua yang bilang kepada anaknya, “Nak… Jika kamu berhasil masuk ranking sepuluh besar, kamu akan ayah belikan sepeda.” Lalu terjadilah dorongan yang begitu besar di dalam diri si anak tersebut sehingga ia memacu dirinya untuk bisa menembus sepuluh besar. Tatkala anaknya bisa mencapainya, si anak “menagih janji”. Dan dapatlah janji tersebut, karena memang sudah dijanjikan.
Dan Subhanallah, Allah menawarkan dan menjanjikan surga bagi siapa yang mengerjakan perintah-Nya, dan mengancam dengan neraka bagi siapa yang menjauhi-Nya. Maka, salahkah bila kita juga mengharap surga dan berharap jauh dari neraka-Nya dengan beribadah kepada-Nya? Allah memberikan surga dan neraka sebagai motivasi dan ancaman. Bahkan dalam Ilmu Hadits, kita juga mengenal adanya hadits targhib wattarhib, hadis motivasi dan ancaman.
Berikut ini beberapa contoh hadits yang memberikan motivasi beribadah/beramal:
Sa‟ad bin Abi Waqqash r.a. berkata, “Suatu hari kami duduk bersama Rasulullah, kemudian beliau bersabda, apakah kalian tidak mau mendapatkan seribu kebaikan setiap harinya?! Seseorang yang hadir di situ bertanya, bagaimana caranya mendapatkan seribu kebaikan itu? Beliau menjawab, yaitu dengan bertasbih sebanyak seratus tasbih. Maka baginya tertulis seribu kebaikan dan darinya dihapus seribu kesalahan.” (HR. Muslim).
Nah, hadits ini memberikan motivasi untuk membaca tasbih sekurang-kurangnya seratus kali. Tapi apakah setelah tahu bahwa ia bisa mendatangkan seribu kebaikan dan menghapus seribu kesalahan, lalu kita tidak mau berbuat kebaikan? Tentu saja kita akan tetap melaksanakan kebaikan yang lain, tidak hanya bertasbih saja. Tapi hadits ini cukup untuk membuat kita menjadi gemar membaca tasbih. Lalu salahkah kita mengharap seribu kebaikan datang dan seribu kesalahan terhapuskan dengan membaca seratus tasbih? Tidak salah, sebab memang Rasulullah yang menawarkan hal tersebut. Dan ini tidaklah mengganggu apa yang disebut dengan “keikhlasan”.
Abu Dzar berkata, berkata Rasulullah, segala ucapan dari kalian bisa menjadi sedekah. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, mengajak kepada kebaikan adalah sedekah dan melarang kemungkaran adalah sedekah. Hal itu dicukupi dengan dua rakaat yang dilakukan pada waktu Dhuha.” (HR. Muslim).
Di dalam hadits tersebut, Rasul memberikan motivasi bagi seseorang yang mau melaksanakan ibadah shalatsunnah Dhuha. Disebut keutamaannya mencukupi “keperluan” sedekah dengan hanya mengerjakan shalat sunnah Dhuha dua rakaat. Tapi apakah kemudian kita yang membacanya lalu tidak mau sedekah lagi? Tentu saja tidak. Kita tetap akan bersedekah kalau memiliki kelebihan uang. Hanya, setelah tahu keutamaan shalat sunnah Dhuha yang demikian besarnya, ada kemungkinan bagi seseorang lebih giat lagi melaksanakan shalat sunnah Dhuha ini. Lalu salahkah kita berharap akan fadilah shalat sunnah ini? Jelas tidak salah, sebab Rasulullah sendiri yang menawarkannya dan memberitahukannya.
Abu Hurairah berkata, bahwa ada fakir miskin Muhajirin yang datang kepada Rasulullah, kemudian mereka berkata kepada beliau, “Enak betul orang-orang yang memiliki harta. Karena mereka meraih derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal. Mereka shalat seperti kami dan puasa seperti kami juga, sedangkan mereka memiliki kelebihan berupa harta yang dengannya mereka dapat melaksanakan ibadah haji dan umrah serta berjihad dan bersedekah.”
Lalu Rasulullah bersabda, “Maukah kalian aku ajarkan sesuatu yang dengannya kalian akan bisa mengejar kelebihan mereka dan dengannya pula kalian akan mendahului orang yang setelah kalian. Tidak ada orang yang mengungguli kalian kecuali jika dia mengerjakan hal yang sama dengan yang kalian kerjakan.”
Mereka menjawab, “Mau ya Rasul.”
Beliau meneruskan, “Kalian membaca tasbih, tahmid dan takbir setelah selesai shalat sebanyak tiga puluh tiga kali.”
Abu Shalih, perawi dari Abu Hurairah, ketika ditanyakan tentang bagaimana mengucapkan zikir tersebut, dia berkata, “Bacalah subhanallah, alhamdulillah dan Allahu akbar, sehingga masing-masing dibaca tiga puluh tiga kali.” (Muttafaq „alaih).
Begitulah halnya dengan sedekah. Allah dan Rasul-Nya memberikan spirit, memberikan motivasi, memberikan stimulus, bahwa bila kita mau bersedekah, maka salah satu keutamaannya adalah kita dijauhkan dari bala dan dijauhkan dari kesulitan (di samping kita akan dijauhkan dari penyakit dan ditambah rezekinya). Apalagi janji-Nya tentang seputar pelipatgandaan amal banyak diabadikan di dalam al Qur‟an. Alias Allah sendiri (di luar hadits) yang menyatakan/mengundang seseorang beramal dengan imbalan balasan kebaikan yang lebih baik lagi. Contohnya adalah apa yang tertera di dalam ayat berikut ini;
“Barangsiapa yang melakukan amal baik, maka baginya sepuluh kali lipat amalnya…” (al An‟âm: 160).
“Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan satu benih yang menumbuhkan tujuh bulir, di mana pada tiap-tiap bulir mengandung seratus biji. Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa yang dikehendaki…” (al Baqarah: 261).
Maka tidaklah salah bila kemudian kita juga berharap balasan dari Allah. Dan sudah barang tentu, bila hal ini salah, maka Allah sendiri tidak akan menjanjikannya.
Lihat lagi ayat berikut ini, yang sekilas nampaknya akan kontradiksi:
“… Dan apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah, maka pahalanya untuk diri kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah…”(al Baqarah: 272).
Tapi ternyata ayat ini bukan menunjukkan ketidakbolehan meminta kepada Allah lewat jalan amal. Ayat ini menunjukkan larangan beramal sebab manusia, tapi untuk mencari ridha-Nya dalam beramal. Dan perhatikan sekali lagi. Malah, bukankah dengan Allah mengungkapkan keutamaan beramal di jalan-Nya, di ayat-ayat sebelumnya, itu juga menunjukkan keridhaan-Nya memberi lebih, dan ridha kita memintanya? Ini bahkan dibuktikan dengan dilanjutkan di ayat tersebut juga (di ayat yang sama) dengan kalimat:
“… Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup. Sedikitpun kamu tidak akan dianiaya.” (al Baqarah: 272).
Dan juga lihat motivasi dari Allah di ayat berikut ini;
“Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapatkan pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (al Baqarah: 277).
Jadi, ini tidak terkait dengan ikhlas dan tidak ikhlas. Inilah hubungan termanis antara Allah dan hamba-Nya, Rasul dan ummatnya. Bila kita baik kepada Allah dan Rasul-Nya, mematuhi apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka keperluan kita akan dicukupkan, dan kita akan ditolong.
Sementara itu, teruslah melatih diri, bahwa tanpa iming-iming surga dan tanpa ancaman neraka, kita bisa juga beramal, dengan tujuan yang satu; Ridha Ilahi. Kita kan tidak bisa selamanya seperti anak kecil, yang baru mau menyapu kalau bundanya bilang, “Nak, tolonglah menyapu… nanti ibu tambahin deh uang saku…” Tidak. Kita harus melangkah menjadi orang dewasa. Suatu saat, ketika kita sudah dewasa dalam beragama, maka kita tidak perlu diiming-imingi uang saku untuk menyapu. Kita akan menyapu, dengan atau tanpa uang saku tambahan. Mudah-mudan Allah senantiasa memberikan bimbingan bagi kita.
Jadi insya Allah, kalau saudara berharap sesuatu dari amal saudara, sementara itu pengharapannya hanya kepada Allah, maka tidak mengapa. Jangan mempersulit diri dengan mengatakan bahwa ini tidak etis. Etis-etis saja. Wong berharapnya sama Allah. Yang tidak etis itu kalau justru kita tidak meminta kepada Allah. Dan kemudian kita membicarakan amal kita di mana-mana untuk tujuan dipuji (sedangkan bila tujuannya untuk ditiru saja tidak ada salahnya; siapa tahu bisa menjadi teladan). Dalam shalat saja kita dimotivasi oleh Allah dan Rasul-Nya, bahwa kalau saja kita mau berjama’ah, maka pahalanya akan dilipatgandakan dua puluh derajat lebih banyak daripada shalat sendiri. Tentu sebagai seorang muslim, ketika shalat berjama‟ah ini menjadi sifat kita, maka kita tiada lagi perlu melihat bahwa shalat berjama‟ah ini mengandung keutamaan dua puluh derajat lebih tinggi daripada shalat sendiri. Artinya, setelah pembelajaran terjadi, kita bisa shalat tanpa memikirkan lagi tentang pahala. Begitulah yang diharapkan dari motivasi tentang fadilah sedekah. Sebagai sebuah pembelajaran juga kiranya.
Tapi baiklah, mudah-mudahan ketika kita sudah bisa bilang, “masa sama Allah hitung-hitungan (dalam beramal)…” Mudah-mudahan saat itu kita sudah dimasukkan ke dalam derajat keimanan yang tinggi yang tidak perlu lagi semacam imbal saja dari Allah. Sekali lagi, latihlah diri kita dengan amal-amal yang kita lakukan hanya untuk ridha Allah.
Saya ingin memberitahu sedikit rahasia kecil; Kita tidak perlu risau bahwa apakah dengan tidak kita katakan amal kita untuk apa, lalu Allah tidak memperhatikan keperluan kita? Allah Maha Tahu. Dia Tahu apa yang menjadi kebutuhan kita. Menjadi senang, adalah dampak positif dari kedekatan hubungan dengan Allah, tanpa perlu diminta. Menjadi kaya, adalah dampak positif dari kedekatan hubungan dengan Allah, tanpa perlu diminta. Selamat dari marabahaya, adalah juga dampak positif dari kedekatan hubungan kita dengan Allah, dan inipun tanpa perlu diminta. Begitu juga sebaliknya, kita tidak menginginkan kesusahan, tapi ia akan menjadi dampak yang pasti ada bila kita jauh dari Allah. Menjadi miskin (bisa juga miskin hati sebab serakah), adalah juga dampak yang pasti ada, bila kita memang lupa akan Allah. Dan akhirnya, kehidupan yang dipenuhi masalah, adalah juga menjadi dampak yang pasti ada, bila kita memang jauh dari Allah.
Tapi sementara itu, permintaan yang dinyatakan – baik lewat lisan, apalagi jika dibarengi dengan amal saleh – tidaklah juga menyalahi aturan. Allah yang meminta kita untuk meminta kepada-Nya. Bahkan di penghujung surah al Furqân, Allah menyatakan tidak akan memperhatikan kita andai tidak ada permintaan dari kita.
Saudara, mungkin suatu saat saudara merasa ada sesuatu hal yang bakal mengganggu keikhlasan saudara. Katakanlah kejadiannya begini: Dulu pernah kita menolong anak si Fulan. Tidak tahunya, sekarang kita yang membutuhkan pertolongan. Datanglah kita kepada si Fulan tersebut, karena kita memandang keadaannya sudah berubah. Si Fulan tersebut sudah kita anggap mampu. Tapi apa yang terjadi, si Fulan menolak membantu. Saudara, bila kemudian saudara katakan kepada manusia yang lain, wah, kurang ajar betul dia itu. Dulu anaknya waktu susah saya bantu. Sekarang saya minta bantuan dan dia bisa membantu, dia katakan tidak bisa membantu. Saudara, bila saudara melakukan hal ini, barulah saudara masuk dalam kategori tidak ikhlas.
Lalu bagaimana supaya selamat? Kan manusia juga punya sifat keluh kesah? Sedangkan kalau keluh kesah kita tidak kita keluarkan, jadi penyakit katanya. Nah, bila begini, keluh kesahkan saja kepada Allah. Insya Allah saudara akan selamat. Tidak mengapa berkeluh kesah kepada Allah. Bahkan Dia menunggu kita berkeluh kesah kepada-Nya. Ini sama sekali tidak menjadikan saudara kehilangan keikhlasan. Misalnya dengan mengadukan, “Ya Allah, sakiiit hati saya… Saya dulu pernah membantu si Fulan di saat dulu dia susah. Tapi kini ketika saya yang susah sedang si Fulan senang, dia tidak membantu. Ya Allah, saya tidak mau merusak amal saya dengan mengadu kepada selain Engkau Rabb. Makanya saya adukan kepada Engkau saja. Rabb, saya tidak minta si Fulan Engkau balas. Karena mungkin dia tidak tahu. Saya hanya meminta Engkau hadirkan bantuan untuk saya lewat jalan yang lain, dan Engkau sadarkan si Fulan. Maafkan kesalahan saya ya Rabb, bila kesalahan-kesalahan saya itulah yang membuat diri saya susah saya sekarang…”
Begitulah. Dengan mengadukan kepada Allah, sesak di dada hilang, dan saudara tetap selamat, tanpa merusak keikhlasan.
Sekali lagi, maaf bila saya mengulang dan mengulang, tidak mengapa sedekah dengan memiliki niat yang sifatnya mungkin “duniawi”; pengen kaya, pengen senang, pengen bebas masalah, pengen tercapai keinginan. Asal, seluruh niatan itu saudara mintakan kepada Allah. Misalnya dengan mengatakan (secara rahasia, hanya kepada Allah), “Ya Allah, Engkau tahu apa yang menjadi kesulitan saya… Hari ini, saya sudah usap beberapa kepala yatim. Saya juga sudah memberikan sedikit makanan dan minuman untuk mereka yang tidak punya. Ya Allah, saya mengatakan ini hanya kepada-Mu, dan hanya di depan-Mu, yang sebenaranya Maha Tahu apa yang saya lakukan. Tapi ya Rabb, sebagai manusia, saya juga memiliki permintaan, dan bukankah permintaan dari hamba-Mu adalah sesuatu yang Engkau sukai? Ya Rabb, tolonglah supaya saya bisa terbebas dari kesulitan yang sedang saya hadapi. Semoga amal baik saya bisa Engkau terima, dan semoga amal buruk saya bisa Engkau hapuskan.” Sementara itu saudara harus menyembunyikan amal saudara dari penglihatan manusia. Cukuplah Allah yang tahu.
0 comments Blogger 0 Facebook
Post a Comment