Kisah Sedekah Dengan Cara Yang Berbeda 
Oleh: Abi Sabila
Sepi. Agen bus antar kota antar propinsi ini masih terlihat sepi. Hanya ada lima orang di ruang tunggu, itupun bukan semuanya calon penumpang, kuyakin dua di antaranya hanya sekedar mengantar. Setelah mengkonfirmasi tiket yang kubeli pagi tadi di loket penjualan, aku bergabung dengan mereka. Sengaja kupilih bangku panjang di barisan paling belakang. Waktu lima belas menit sebelum jadwal keberangkatan masih cukup untuk aku beristirahat. Malah bisa lebih lama karena biasanya bus selalu datang terlambat, mudah-mudahan kali ini tidak.

Tak sampai lima menit sejak kedatanganku, datanglah seorang calon penumpang lainnya. Seorang laki-laki muda yang tak kukenal. Setelah tersenyum padaku, laki-laki itu duduk tepat di depanku. Tak banyak bicara, sekedar basa-basi kota mana yang ia tuju, setelah itu saling diam.

Aku mengambil handphone dari tas kecilku, kukabarkan pada ibu bahwa aku sudah sampai di agen bus dan tentu saja masih harus menunggu. Juga kukirimkan satu sms untuk keponakanku di Tangerang, bahwa aku jadi pulang sore ini dan minta ia menjemput di agen bus besok pagi.
Saat asyik mengetik sms, aku tak menyadari kalau seorang calon penumpang datang lagi dan berjalan ke arahku.

“Assalamu’alaikum”
“Wa’alikum salam” jawabku agak terkejut, ternyata aku mengenal calon penumpang yang baru datang. Pak Agus, sebut saja begitu. Beliau tetangga satu kampung denganku.

Obrolan hangatpun segera terjadi. Cukup lama kami tak saling bertemu, mungkin lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Seingatku, sejak aku lulus sekolah dan menyusul kakakku di Tangerang, baru kali ini bertemu lagi. Banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari saling bertanya keluarga hingga pekerjaan masing-masing.

Waktu terasa berjalan lebih cepat. Keramahan dan keterbukaan Pak Agus menjadikan obrolan kami semakin hangat dan bersahabat.

Banyak hal bermanfaat yang kudapatkan sore itu. Salah satunya ketika aku bertanya siapa yang mengantarnya sore itu, aku tak melihat ada orang lain bersamanya. Seluruh warga di kampungku tahu, bahwa Pak Agus berasal dari keluarga berada. Tapi tidak semuanya tahu ( salah satunya aku ) bahwa setiap pulang kampung, untuk kemana-mana Pak Agus lebih senang menyewa becak ketimbang naik mobil atau motor yang berjejer di garasinya. Termasuk sore ini, Pak Agus datang ke agen bus diantar Kang Ndoyo, tukang becak yang biasa mangkal di perempatan dekat balai desa. Aku memang tak melihat Kang Ndoyo lagi sebab setelah mengantarkan Pak Agus, dia langsung ke stasiun mencoba menjemput rejeki melalui para penumpang kereta yang baru tiba dari berbagai kota.

“Memangnya semua sedang sibuk, sehingga tidak ada yang sempat mengantar ke sini Pak?” tanyaku sekedar ingin tahu.

“Tidak juga, semua keluarga sedang kumpul di rumah. Tadi adik ipar juga maksa ingin mengantar dengan mobil, tapi saya tolak. Saat pulang kampung seperti sekarang ini, saya lebih senang kemana-mana naik becak.”

“Bisa bernostalgia ya Pak. Di Jakarta kan sekarang becak sudah tidak boleh beroperasi lagi?” potongku, sok tahu.

“Itu salah satunya. Selain itu, kalau tidak begitu, saya tidak tahu cara lain untuk berbagi dengan saudara-saudara kita di sini.”

“Maksudnya?” aku belum paham apa yang beliau maksudkan.

“Maksud saya begini, Mas. Setiap pulang kampung, sedikit apapun saya usahakan untuk bisa berbagi dengan saudara dan kawan lama yang sebagian besar tetap tinggal di kampung. Ada yang jadi petani, ada juga yang jadi tukang becak, seperti Kang Ndoyo. Saya tidak meremehkan penghasilan mereka, tapi kita bisa melihat kehidupan mereka yang masih sederhana, sangat sederhana malah. Tidak salah kan kalau kita berbagi sedikit rejeki dengan mereka. Hanya saja, kalau tiba-tiba saya datang dan memberikan sejumlah uang atau barang, sedangkan mereka tidak melakukan apa-apa, kok rasanya kurang sreg di hati.”

“Yang saya takutkan, bukannya mereka senang, tapi justru membuat mereka tersinggung atau berfikir yang macam-macam, nanti malah bisa menimbulkan fitnah. Akhirnya saya pikir dengan menyewa becak atau minta tolong ini dan itu, saya bisa tetap berbagi, dan mereka tidak perlu merasa direndahkan karena mereka sudah bekerja, mengeluarkan tenaga. Tidak selalu banyak, sekedar lebih dari upah yang biasa mereka terima, itu sudah cukup membuat mereka bahagia. Bukankah memberikan kail lebih baik daripada langsung memberi ikannya?” panjang lebar Pak Agus menjelaskan.

Benar sekali apa yang beliau sampaikan, dan ini hampir tak terpikirkan olehku. Kalaupun sore itu aku datang ke agen bus juga dengan menyewa becak, itu lantaran tak ada yang bisa mengantar. Menjelang ujian, keponakanku yang biasanya mengantar semakin sering mengikuti pelajaran tambahan. Juga tadi pagi, saat aku membeli tiket, aku malah lebih memilih pinjam motor kakakku ketimbang menyewa becak, seperti yang Pak Agus lakukan.

Astaghfirulloh, ternyata banyak sekali kesempatan berbuat baik yang aku lewatkan saat pulang kampung seperti ini. Bahkan, meski aku dan Pak Agus sama-sama datang ke agen bus ini dengan naik becak, niat dan kesadaran kami tidaklah sama. Pak Agus begitu pandai melihat peluang untuk berbagi dengan sesama. Pak Agus begitu cerdas memanfaatkan kesempatan ini hingga orang lain yang ia tolong barangkali tak menyadari bahwa Pak Agus sengaja menyewa becak mereka bukan karena ingin bernostalgia, tapi karena ingin berbagi rejeki tanpa membuat orang lain tersinggung apalagi sakit hati.

Alhamdulillah, aku bersyukur sekali bertemu dengan beliau sore itu. Perbincangan yang hangat sekaligus bermanfaat. Sayang, kami tak bisa berbincang lebih lama lagi karena bus AC eksekutif yang ditunggu Pak Agus sudah lebih dulu datang.

“Bus saya sudah datang, saya pamit dulu, Mas. Maaf ya kalau ada perbincangan yang kurang berkenan. Njenengan hati-hati di jalan, semoga kapan-kapan bisa bertemu lagi, insya Allah. Assalamu’alaikum,” sopan beliau berpamitan.

“Wa’alaikum salam, Bapak juga hati-hati. Terima kasih, saya banyak mengambil pelajaran dari perbincangan singkat ini. Sampaikan salam saya untuk keluarga,” agak gemetar tanganku saat bersalaman dengannya.

Dua menit berikutnya, bus AC eksekutif jurusan Jakarta itupun bergerak perlahan. Dibalik jendela, kulihat Pak Agus tersenyum, melambaikan tangan ke arahku. Kubalas dengan hal yang sama.

Cara berbagi yang cerdas, aku mengakui itu. Ini bukan omong kosong. Apa yang beliau katakan benar, dan beliau telah membuktikannya. Beliau juga telah membagi tipsnya padaku, bagaimana berbagi dengan cara yang cerdas, cara yang tak membuat orang malas, tersinggung apalagi sakit hati.

Sumber: http://abisabila.blogspot.com

0 comments Blogger 0 Facebook

Post a Comment

 
Rahasia Sedekah © 2013. All Rights Reserved. Share on Blogger Template Free Download. Powered by Blogger
Top